Persuartsive

Deborah Iskandar, CASA Indonesia, November 15, 2019

Art to Heart with Bitte

Interviewed by Deborah Iskandar

 

Bitte, yang dalam bahasa Jerman berarti sama-sama (you’re welcome), sebuah studio arsitektur dan desain interior yang dibangun oleh dua sahabat, Agatha Caroline dan Chrisye Octaviani. Terdorong atas rasa penasaran akan keberhasilannya meminang arsitektur dan seni dalam proyek-proyek Artotel, Art & Desain, konsultan seni yang juga fasih dengan proyek arsitektur dan interior, berkesempatan berbincang dengan Bitte Design Studio di Poliform, Kemang.

 

Bagaimana anda, Agatha dan Chrisye, memulai Bitte?

AC: Saya (Agatha) dan Chrisye telah bersahabat sejak masa kuliah di Universitas Parahyangan, Bandung. Setelah lulus, saya bekerja di Andra Matin Architects, disusul oleh Chrisye beberapa bulan kemudian. Pada tahun 2012 kami berdua memutuskan untuk memulai studio kami sendiri, Bitte Design Studio.

 

Bagaimana pendekatan desain Bitte?

AC: Pendekatan desain Bitte cenderung kasual daripada serius. Suasana kasual selalu kami upayakan agar tercipta ruang dialog yang nyaman dengan klien.

Bagaimana anda memulai mendesain?

CO: Kami selalu memulai proyek dengan riset mengenai lokasi, fungsi, pengguna, timeline, dan budget untuk mengakomodir seluruh kebutuhan melalui desain yg tepat guna.

 

Apa proyek favorit anda sejauh ini?

CO: Proyek favorit Saya sejauh ini adalah rumah Tafidz Qur-an di cimanggis yang saat ini sedang dalam proses konstruksi. Proyek ini menarik karena merupakan pembelajaran baru bagi kami.

Seni dan Desain

 

Apakah seni menurut anda?

CO: Bagi saya seni ada di dalam kehidupan sehari-hari. Seni juga menjadi titik berangkat kami ketika mendesain objek di suatu tempat. Seperti ketika mendesain Artotel Haniman Ubud, kami banyak berkeliling area Ubud untuk mempelajari budaya dan ketukangan lokal untuk diaplikasikan ke dalam desain.

 

Bagaimana cara anda menggabungkan karya seni dengan desain anda, terutama dalam proyek-proyek Artotel?

AC: Ketika merancang Artotel, kami menyadari penuh karakter kuat dari karya-karya kuat yang menjadi karakter Artotel, sehingga ketika masuk ke elemen arsitektur dan interior, kami bermain dengan halus. Kami ingin karya seni menjadi kontras diatas desain bangunan yang ringan, hampir seperti lukisan di atas kain kanvas yang polos, kosong.

 

Ketika mendesain apakah anda mendefinisikan ruang tertentu untuk karya seni, karena seringkali karya seni menjadi sekadar pelengkap, bagian terakhir yang ditambahkan. Bagaimana menurut anda?

AC: Ya, kami beberapa kali menyediakan ruang kosong untuk karya seni, bukan sebaliknya. Karena Saya rasa sebagian besar rakyat Indonesia belum menghargai karya seni. Seringkali klien cenderung lebih tertarik membeli furnitur bermerk ketimbang karya seni yang bernilai.

 

Siapa seniman favorit anda?

AC: Olafur Eliasson, James Durrell, Mark Rothko, Damien Herst, dan Christine Ay Tjoe.

CO: Eko Nugroho dan Agus Suwage.

 

Bagaimana anda memulai merekomendasikan karya seni kepada klien?

CO: Ketika klien sudah tahu apa yang mereka inginkan umumnya lebih mudah. Jika belum, kita dapat memberi rekomendasi sesuai dengan warna dan nuansa interior yang akan cocok dengan karya seni tertentu.

 

Apa tips anda untuk membuat klien tertarik mengoleksi karya?

AC: Mengedukasi mereka bahwa karya seni dapat mengubah hidup anda dan dapat menjadi investasi yang menjanjikan. Masyarakat Indonesia, terutama yang tinggal di kota-kota besar, sebetulnya sanggup membeli karya seni yang bernilai. Jika anda bisa membeli jam tangan bermerk, mengapa anda tidak bisa membeli lukisan?

 

Apa selanjutnya untuk Bitte?

CO: Kami punya rencana memulai lini bisnis desain produk dan proyek social. Produk desain yang kami maksud adalah desain meja, lampu, dan furniture lainnya yang dapat melengkapi interior rancangan Bitte.

17 
of 66